Pasal 27 Pasal 3

Pasal 27 Pasal 3

Pasal pencemaran nama baik di dalam UU ITE banyak mengkriminalisasi ekspresi-ekspresi yang sah dan menjadi masalah pokok dari UU ITE. Permasalahan perumusan seperti delik pokok mengenai penghinaan yang diatur dengan berbagai jenis perbuatan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diambil dan diimplementasikan secara berantakan. Sehingga dalam beberapa kasus, kasus pidana penghinaan ringan yang seharusnya diancam dengan pidana yang relatif lebih rendah disamaratakan dengan tindak pidana yang ancaman pidananya lebih tinggi. Selain itu, tidak jelasnya unsur mentransmisikan (menyebarkan ke satu orang lain) gagal menafsirkan unsur “di muka umum” yang merupakan unsur utama dari ketentuan pencemaran nama baik di delik pokoknya di KUHP. Pasal pencemaran nama baik di dalam UU ITE menduduki Pasal yang paling banyak digunakan menurut hasil riset ICJR tahun 2021.

Kertas Kebijakan ini berisi masukkan atas usulan rumusan Matriks Draft RUU ITE yang ada. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat dalam proses revisi kedua UU ITE dan memperbaikinya demi sejalan dengan perlindungan Hak Asasi Manusia dan prinsip hukum pidana.

PASAL 30 ayat 1 dan Pasal 27 ayat 3 dalam UUD 45 tampaknya ada kemiripan redaksi bahasa. Namun apakah pengertiannya sama atau berbeda? Berikut penjelasan rincinya.

UUD 1945 Pasal 30 ayat 1 disebutkan bahwa tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Berdasarkan lampiran di atas, dapat disimpulkan bahwa warga negara wajib ikut serta dalam mengupayakan usaha keamanan dan pertahanan negara.

Seperti yang disampaikan dalam UU tentang Pertahanan Negara, sistem pertahanan negara adalah sistem pertahanan yang sifatnya melibatkan seluruh warga, wilayah, dan sumber daya nasional yang ada. Pertahanan negara sama dengan melaksanakan kebijakan pertahanan negara. Salah satu komponen utama pertahanan negara ialah Tentara Nasional Indonesia yang selalu siap dengan tugas-tugas pertahanan.

Isi dari Pasal 27 ayat 3 menyebutkan setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara. Ayat tersebut menegaskan tentang keikutsertaan warga negara terhadap upaya pembelaan negara.

Dilansir laman resmi Kementerian Pertahanan, ayat di atas dapat dimaknai seperti berikut:

1. Setiap warga negara memiliki hak dan kewajiban untuk menentukan kebijakan kebijakan perwakilan yang diamanatkan dalam UUD 1945.

2. Setiap orang yang menjadi bagian dari warga negara harus melibatkan diri dalam setiap usaha pembelaan negara, sesuai dengan profesi dan kemampuannya masing-masing.

Perbedaan Pasal 30 ayat 1 dan Pasal 27 ayat 3

Perbedaan Pasal 30 ayat 1 dan Pasal 27 ayat 3 yang mendasar ialah objek dari hak dan kewajiban dari kedua pasal. Pada Pasal 27 ayat 3 mengatur tentang bela negara, sedangkan Pasal 30 ayat 1 mengatur tentang pertahanan dan keamanan negara.

Bela negara merupakan tekad, sikap, dan tindakan warga negara yang dilandasi kecintaan pada Tanah Air serta kesadaran berbangsa dan bernegara dalam menjaga kedaulatan NKRI dari berbagai ancaman. Keikutsertaan warga negara dalam upaya bela negara diselenggarakan melalui:

a. Pendidikan kewarganegaraan.  b. Pelatihan dasar kemiliteran secara wajib. c. Pengabdian sebagai prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) secara sukarela atau secara wajib. d. pengabdian sesuai dengan profesi.

Namun pada bela negara, seluruh warga negara berhak dan wajib ikut serta. Pada pertahanan negara, warga juga berhak dan wajib ikut serta. Namun sistem pertahanan negara ini kekuatan utamanya ialah TNI dan Polri kemudian rakyat sebagai pendukung. (OL-14)

Tahukah kamu apa yang menjadi pembeda antara UUD 1945 Pasal 30 Ayat 1 dan Pasal 27 Ayat 3? Dalam UUD 1945 Pasal 27 Ayat 3 dinyatakan bahwa: "setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara". Sedangkan isi Pasal 30 Ayat 1 adalah; "tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara".

Jika dibandingkan, keduanya sekilas nampak sama tetapi ada juga poin-poin yang berbeda. Artikel ini akan membahas perbedaan keduanya, terutama dari bunyi dan maknanya. Simak pembahasannya di bawah ini:

Wujud Bela Negara Bagi Pelajar

Apabila orang dewasa dapat melakukan pertahanan dan bela negara melalui profesi dan kemampuannya, apa yang bisa dilakukan oleh para pelajar?

Pelajar dapat mewujudkan sikap bela negara melalui lingkungan keluarga, dengan cara memahami hak dan kewajiban saat di rumah dan menjaga keharmonisan keluarga. Mengutamakan pemecahan masalah secara demokratis.

Sesuai dengan tugas dan kewajibannya di sekolah, pelajar harus bertanggung jawab, mengikuti pembelajaran dengan baik, dan tidak ikut tawuran.

Contoh Upaya Bela Negara di Lingkungan Masyarakat

Lantas, apa saja yang bisa kita lakukan untuk menerapkan bela negara di lingkungan masyarakat?

Masih banyak lagi contoh upaya pertahanan dan bela negara yang bisa dilakukan oleh warga negara. Semoga kita semua dapat mengimplementasikan UUD 1945 Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 30 ayat 1 dengan baik dan benar.

Terima kasih atas pertanyaan Anda.

Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul sama yang pertama kali dipublikasikan pada 4 Desember 2023, dan pertama kali dimutakhirkan pada 12 Desember 2023.

Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Bentuk-bentuk Bela Negara

Baik Pasal 27 ayat 3 dan Pasal 30 Ayat 1, keduanya membahas tentang pembelaan terhadap negara. Jika diuraikan lebih dalam lagi, apa saja bentuk-bentuk bela negara? Berikut ulasannya!

Usaha mempertahankan kedaulatan negara dapat dilakukan dengan cara berpartisipasi secara langsung. Jika Tentara Negara Indonesia (TNI) berpartisipasi membela pertahanan negara dengan keahlian senjata, rakyat dapat bekerja secara nyata dalam kehidupan sehari-hari untuk menunjang pembangunan.

Bentuk bela negara selanjutnya dapat dilakukan secara non fisik, yakni mempertahankan negara dengan cara meningkatkan kesadaran cinta tanah air, berbangsa dan bernegara, dan berperan aktif untuk memajukan bangsa sesuai dengan kemampuannya.

Bunyi Pasal 27 UU ITE sebelum Perubahan

Perbuatan-perbuatan mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi/dokumen elektronik yang mengandung penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, muatan yang melanggar kesusilaan, dan pemerasan dan/atau pengancaman dilarang dalam Pasal 27 UU ITE. Adapun, bunyi Pasal 27 UU ITE adalah sebagai berikut:

Pelanggaran terhadap Pasal 27 ayat (1), (2) dan (4) UU ITE dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar. Sementara itu, pelanggaran Pasal 27 ayat (3) UU ITE dipidana dengan pidana penjara maksimal 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp750 juta.[1]

Khusus Pasal 27 ayat (3) UU ITE di atas, memuat unsur “penghinaan” dan “pencemaran nama baik” yang merujuk pada Pasal 310 KUHP lama yang pada saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Pasal 433 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan,[2] yaitu tahun 2026.

Baca juga: Hukum Pencemaran Nama Baik di Media Sosial

Lingkungan Berbangsa dan Bernegara

Upaya pertahanan dan bela negara dapat diterapkan saat berada di lingkungan berbangsa dan bernegara, yaitu menghormati jasa pahlawan, berani menyampaikan pendapat, dan melestarikan adat dan buaya asli daerah.

Makna Pasal 27 Ayat 3

Dilansir laman resmi Kementerian Pertahanan, ayat di atas dapat dimaknai seperti berikut:

Bunyi Pasal 27 UU 1/2024

Perlu diketahui bahwa Pasal 27 UU ITE di atas telah diubah oleh Pasal 27 UU 1/2024 tentang perubahan kedua UU ITE. Adapun bunyi Pasal 27 UU 1/2024 adalah sebagai berikut:

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa ketentuan dalam Pasal 27 UU 1/2024 tidak mengatur perihal penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana sebelumnya. Namun, di antara Pasal 27 dan Pasal 28 UU 1/2024 disisipkan 2 pasal, yakni Pasal 27A dan Pasal 27B UU 1/2024.

Berdasarkan Pasal 27A UU 1/2024, setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dilakukan melalui sistem elektronik, dapat dipidana penjara maksimal 2 tahun dan/atau denda maksimal Rp400 juta.[8]

Menurut Penjelasan Pasal 27A UU 1/2024, perbuatan “menyerang kehormatan atau nama baik” adalah perbuatan yang merendahkan atau merusak nama baik atau harga diri orang lain sehingga merugikan orang tersebut, termasuk menista dan/atau memfitnah.

Lalu, tindak pidana dalam Pasal 27A UU 1/2024 merupakan tindak pidana aduan yang hanya dapat dituntut atas pengaduan korban atau orang yang terkena tindak pidana dan bukan oleh badan hukum.[9]

Lebih lanjut, perbuatan yang dilarang khususnya terkait ancaman pencemaran diatur secara terpisah oleh Pasal 27B ayat (2) UU 1/2024, yaitu:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan ancaman pencemaran atau dengan ancaman akan membuka rahasia, memaksa orang supaya:

Menurut Penjelasan Pasal 27B ayat (2) UU 1/2024, yang dimaksud dengan “ancaman pencemaran” adalah ancaman menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum.

Kemudian, orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 27B ayat (2) UU 1/2024, berpotensi dipidana dengan pidana penjara maksimal 6 tahun dan/atau denda maksimal Rp1 miliar, sebagaimana diatur dalam Pasal 45 ayat (10) UU 1/2024.

Namun, penting untuk diketahui bahwa tindak pidana dalam Pasal 27B ayat (2) UU 1/2024 hanya dapat dituntut atas pengaduan korban tindak pidana.[10]

Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

[3] Amri Dunan dan Bambang Mudjiyanto. Pasal Karet Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik Bermasalah. Majalah Semi Ilmiah Populer Komunikasi Massa, Vol. 3, No. 1, 2022, hal. 27

[4] Fairus Augustina Rachmawati (et.al). Implikasi Pasal Multitafsir UU ITE Terhadap Unsur Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik. Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang, Vol. 7, No. 2, 2021, hal. 499

[5] Fairus Augustina Rachmawati (et.al). Implikasi Pasal Multitafsir UU ITE Terhadap Unsur Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik. Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang, Vol. 7, No. 2, 2021, hal. 491

[6] Fairus Augustina Rachmawati (et.al). Implikasi Pasal Multitafsir UU ITE Terhadap Unsur Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik. Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang, Vol. 7, No. 2, 2021, hal. 494

[7] Fairus Augustina Rachmawati (et.al). Implikasi Pasal Multitafsir UU ITE Terhadap Unsur Penghinaan dan Pencemaran Nama Baik. Seminar Nasional Hukum Universitas Negeri Semarang, Vol. 7, No. 2, 2021, hal. 491

[9] Pasal 45 ayat (5) UU 1/2024

[10] Pasal 45 ayat (11) UU 1/2024

Catatan utama dari Pasal mengenai kesusilaan di dalam UU ITE adalah banyaknya korban kekerasan seksual di ruang siber yang justru diancam dipidana. Hal ini dimungkinkan karena perumus UU ITE gagal memperhatikan pengecualian-pengecualian yang bisa terjadi bagi korban kekerasan seksual, yang dilihat dari UU ITE hanyalah cara muatan ini berpindah tangan dan dilakukan di dalam ranah siber. Tidak ada definisi dari “Kesusilaan” dan jika merujuk ke dalam KUHP, perbuatan “melanggar kesusilaan” diatur di dalam berbagai Pasal yang tersebar di dalam buku 2 KUHP tentang kejahatan dan buku 3 KUHP tentang pelanggaran.

Kesusilaan di dalam KUHP juga bergantung erat terhadap nilai kesusilaan di tempat terjadinya perbuatan, suatu hal yang bertentangan dengan konsep internet yang lintas batas (cross-border). Pasal ini juga merupakan duplikasi dengan UU No. 44 tahun 2008 tentang Pornografi yang mana di dalam UU tersebut hanya menjerat perbuatan jika muatan asusila disebarkan di muka umum atau digunakan untuk tujuan komersil, dengan demikian frasa “mentransmisikan” yang termasuk korespondensi pribadi seharusnya tidak dapat dipidana disini, terlebih jika tujuannya sebagai bukti kekerasan.

Kertas Kebijakan ini berisi masukkan atas usulan rumusan Matriks Draft RUU ITE yang ada. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat dalam proses revisi kedua UU ITE dan memperbaikinya demi sejalan dengan perlindungan Hak Asasi Manusia dan prinsip hukum pidana.

Bunyi Pasal 30 Ayat 1

Sedangkan dalam UUD 1945 Pasal 30 ayat 1, disebutkan bahwa: "tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara."